A story with tens of thousands of articles.

A story with tens of thousands of articles.
life and death, blessing and cursing, from the main character in the hands of readers.

Saturday, June 3, 2017

Sehari Membuntuti Ahok Bekerja, Bertanya Apa Kekurangan Dirinya, dan Bagaimana Jika Ia Dibunuh


Me at Boston Museum

Ahok berjanji membolehkan saya membuntutinya seharian saat ia bekerja dan ia menepatinya. Sebenarnya saya hanya meminta seharian membuntutinya, namun ia sempat bertanya, "mau berapa hari?" Ditanya begitu saya melunjak, "waaaa kalau bisa berhari-hari saya mau sekali. Tapi mungkin 2 hari saja cukup." Awalnya saya berencana membuntutinya saat bekerja di weekdays dan saat ia ke nikahan warga di Hari Sabtu. Sayangnya justru saya yang tidak bisa menempati janji. Saya tidak bisa bangun pagi di Hari Sabtu, karena waktunya bangun siang dan bermalas-malasan. Jadinya saya tidak pernah bisa membuntuti Ahok mendatangi nikahan warga yang selalu di Hari Sabtu itu. Saya hanya membuntutinya seharian saja di Balaikota.
Akhirnya Kesempatan Membuntutinya Tiba
Setelah mencocokkan jadwal saya bekerja dan jadwal Ahok, akhirnya kesempatan membuntutinya tiba. Pada Hari Jumat, 16 September 2016 pagi saya ke Balaikota siap menyaksikan Ahok bekerja dengan mata kepala saya sendiri. Saya datang bukan untuk menanyakan kebijakan atau masalah politiknya. Saya datang untuk menyaksikan apa saja yang ia lakukan seharian di Balaikota, bagaimana ia berinteraksi dengan orang di sekitarnya saat bekerja, dan menanyakan beberapa hal sederhana.
Ahok dari Ruang ke Ruang, Dari Meeting ke Makan, Dari Pagi Sampai Malam
Mengikuti Ahok bekerja seharian di Balaikota artinya mengikutinya berpindah-pindah dari ruang meeting ke ruang meeting yang lain. Saat saya tiba, Ahok sedang di mejanya menandatangi berbagai dokumen dibantu oleh ajudannya, Mas Pri. 
Selesai menandatangani dokumen, ia bergegas ke ruang meeting di bagian belakang ruang tamu untuk menemui murid-murid dari sekolah Australian Independent School. Sudah ada beberapa guru dan murid-murid duduk di depan meja oval. Ahok pun ikut duduk. Untuk menyambut kedatangan Ahok, sang kepala sekolah mengatakan anak-anak ini ingin bertemu Ahok karena kata para murid, "he's the best governor ever." Setelah satu-satu memperkenalkan namanya, mereka menanyakan beberapa macam hal dan Ahok menjawabnya. Dalam menjawab sebuah pertanyaan, Ahok sempat mengatakan, "Brain is otak, you know? And muscle is otot. To be a governor of Jakarta you don't need a good otak but a good otot." Seruangan tertawa.
Ia menambahkan, "Because everything you already know! Everything! We have staff from the best universities. We know everything. The problem is, you have the courage to execute it or not? Because you will be disturbed by the interest from the poorest to the richest."
Selesai bertemu mereka, Ahok keluar ruangan menuju ke aula. Setiap ia keluar dari suatu ruangan ke ruangan lainnya, ada belasan orang menunggunya lalu berebut mengajak berfoto bersamanya. Ahok melayani mereka semua.
Setelah melayani permintaan foto, ia berjalan cepat memasuki aula. Ia sudah ditunggu ratusan siswa berprestasi se-DKI Jakarta berserta guru dan orang tua. Mereka disana untuk diberi selamat dan berfoto bersama Ahok. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan saat ia tiba di pintu utama aula. Ia disambut dengan begitu meriah. Saya yang berjalan di belakangnya merinding. 
Dalam perjalanannya menuju panggung, Ahok kembali diserbu kerumunan orang yang mengajaknya berselfie. Sampai di atas panggung, ia memberi sambutan dan berfoto bersama dengan seluruh siswa berprestasi dari setiap sekolah.
Setelah selesai, ia turun dari panggung menuju ke luar aula. Lagi-lagi perjalanannya terhambat oleh ibu-ibu yang ingin berselfie dengannya dan menghabiskan waktu 15 - 30 menit waktunya. Di tengah perjalanan keluar, Ahok tiba-tiba menundukkan badannya dan berbicara dengan seorang anak perempuan berhijab. Setelah mereka tersenyum, ia pun merangkul anak itu dan melihat ke arah kamera orang tua si anak. Menurut pandangan saya, senyum Ahok yang paling sumringah adalah saat ia bertemu anak kecil.
Setelah terbebas dari ajakan berselfie, Ahok memasuki ruang tamu. Ia sudah ditunggu seorang polisi. Setelah mereka bersalaman, masuk ruangan, pintu ditutup di depan muka saya. Saya yang saat itu mau ikut masuk ke ruangan jadi pengen tengsin. Rasanya wagu sekali. Muka saya jadi begini: 
Daripada kelamaan tengsin dan merasa wagu, saya langsung balik badan, bergegas menuju tempat duduk di depan ruang meeting dan mengobrol dengan petugas keamanan. TIba-tiba saya mendapat pesan di WhatsApp dari asisten Ahok, "Mbak Dian jangan di luar. Kata Bapak, Mbak Dian masuk aja." Waaaa... Ternyata Ahok tidak melupakan saya. 
Selesai bertemu dengan seorang polisi, Ahok keluar lalu kembali ke ruangannya, duduk, dan menandatangani beberapa dokumen lagi. Sesekali staffnya bergantian menghampirinya untuk membahas sesuatu. Sering kali ia juga bergurau dengan mereka.
Di saat itu pula ada seorang Bapak pegawai pemprov DKI masuk ke ruangannya untuk memberikan undangan pernikahan. Ahok membaca undangan dan bertanya apakah bapak itu yang mau menikah? Sambil tertawa bapak itu menyakinkan bahwa anaknya yang mau menikah, bukan dirinya. Ahok tertawa jahil menanggapi jawabannya. Ahok dan bapak itu pun berfoto bersama. 
Setelah itu Ahok mengajak staffnya dan saya untuk makan siang bersama. Di belakang mejanya ada ruang makan kecil berisi meja makan, kulkas, dan lauk pauk yang sudah tersaji. Saya dibuat kenyang sekali siang itu. Sambil makan, kami membahas nama-nama selebriti dan gosipnya. Selesai makan, Ahok bertanya kepada saya, "Dian, suka es krim?" Itu pertanyaan sungguh pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tentu saja saya suka. Ia pun berdiri, membuka kulkas dan bertanya lagi, "Dian sukanya rasa apa?" Kemudian ia mengambilkan es krim rasa strawberry sesuai keinginan saya. Belum selesai saya menghabiskan es krim, ia menawarkan durian dari Medan! 
Selesai makan siang, kami menuju ke ruang meeting belakang. Jadwal berikutnya ia bertemu dengan perwakilan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dalam rapat itu Ahok membahas mengenai sengketa tanah, pembebasan lahan negara, perluasan lahan, pembangunan jalan, penyiraman taman yang efisien, pembuatan waduk, deal dengan perusahan-perusahaan, pergub, pengurusan sertifikat atas permintaan masyarakat, rencana scan dan upload segala dokumen agar pengembang tidak perlu menyogok orang dalam lagi, dan membahas berbagai masalah lainnya. Tentu saja saya tidak memahami detail percakapan mereka karena terlalu teknis. Namun yang menarik, dalam rapat itu mereka juga membahas usaha pemerintah DKI agar mendapatkan dana dari pihak swasta untuk mendanai infrastruktur daerah. Ahok mengatakan,  "sebisa mungkin pemerintah provinsi DKI tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk infrastruktur agar dananya dapat digunakan untuk subsidi transportasi, perumahan, pendidikan, dan kesehatan." Saya sempat merekamnya melalui Facebook live. 
Selesai bertemu dengan BKPRD, Ahok bergegas ke ruang tamu. Ia sudah ditunggu oleh seorang sejarawan dari Belanda. Sejarawan itu telah selesai membuat buku berisi foto-foto Jakarta masa lalu dan ingin memberikan langsung ke Ahok dan pemprov DKI. Ahok meminta tanda tangan si sejarawan di bukunya dan si sejarawan meminta berfoto bersama Ahok.
Setelah itu ada satu meeting yang harus saya lewatkan karena suatu hal. Namun selesai meeting tersebut, saya mengikuti Ahok kembali ke ruang tamu. Ia menemui perwakilan dari Bulog. Mereka membahas mengenai pangan, gula, daging, dan harga-harganya. Lagi-lagi pembicaraan mereka sangat teknis. Saya berfikir, kepalanya Ahok itu laci memorinya ada berapa ya? Kok semuanya bisa dia ingat dan paham? :O
Sekitar pukul 18.00 WIB, selesai sudah seluruh jadwal meetingnya. Hari sudah gelap, ia pun mengajak saya ke ruang makan kecilnya untuk makan malam. Saya dibuat kekenyangan lagi dan disuguh durian lagi. Kali ini pemberian kerabatnya dari Singapura. Enak sekali! Sambil makan, kami kembali membahas selebriti Indonesia, siapa yang paling cantik dan paling ganteng.
Ahok Menjawab Pertanyaan Saya
Selesai makan, saya meminta izin untuk mewawancarainya dan merekamnya. Ia berkenan. Setelah menghidupkan recorder, saya bertanya,
"Tadi saya lihat banyak banget ya Pak yang pengen foto sama Bapak. Apa nggak capek?"
"Kalo kamu melayani orang dengan senang hati, mesti nggak capek. Pekerjaan pemerintah ini nggak bisa pura-pura. Kalau kamu pura-pura, kamu burn out, nggak tahan. Saya sudah terbiasa seperti ini belasan tahun."
"Lalu kenapa Bapak senang melayani orang?"
"Karena saya memutuskan masuk politik kan untuk melayani orang. Karena pekerjaan ini untuk melayani banyak orang."
"Itu tujuannya, tapi kenapa Bapak ingin melayani orang? Kenapa senang melakukannya?"
"Dari kecil, dibentuk dari Bapak, kalau mau menolong orang, ya harus melayani orang. Tadinya saya tidak membuka seperti itu."
"Membuka apa?"
"Membuka setiap pagi begitu (masyarakat diperbolehkan ke teras Balaikota untuk mengeluhkan masalahnya atau sekedar berfoto). Masalahnya kita mau masuk kerja, ada orang sudah nungguin di depan, masak saya kabur lewat belakang menghindari orang? Kasihan dong orang sudah nunggu? Orang berdiriiiiiii nungguin gitu. Kasihan kan? Makanya saya belikan 4 set kursi itu hehehe. Untuk mereka menunggu. Kita dengerin atau lewat sms. Orang mau ketemu, mau foto, ya sudah."
"Tapi dulu kan (Balaikota) ditutup?"
"Iya dulu nggak boleh injek. Hahaha."
"Kok Bapak malah bolehin sampai masuk teras?"
"Saya kira saya kan pegawai, ini rumah rakyat. Kita pegawai ya harus kasih lah. Kayak ini, surat semua yang masuk, saya mau baca semua. Saya harus ngerti. Mau surat tembusan saya juga mau tau. Duduk disini membaca ini semua laporan, jadi mengerti."
"Ada nggak yang menjengkelkan?"
"Pasti ada, gua semprot aja kalau kurang ajar begitu."
"Hahaha! Saya selalu khawatir ada yang mau menembak mati Bapak gitu. Kan gampang sekali itu, Pak? Bapak nggak takut?"
"Mati kan di tangan Tuhan? Kalau kamu memang harusnya mati muda mau bilang apa? Memang kamu takut bisa membuat tidak jadi mati? Kalau kekhawatiran bisa membuat saya jadi panjang umur, saya mau khawatir. Tapi kan enggak? Jadi buat apa takut?"
"Tapi sebenarnya kekhawatiran itu ada kan?"
"Kalau kekhawatiran itu ada, stress dong, sakit dong saya?"
"Sedikit pun tidak ada?"
"Kenapa saya bisa hidup enak? Tidur enak? Karena saya pasrah."
"Tapi padahal kemungkinan itu ada kan, Pak?"
"Ya kalau memang Tuhan memutuskan saya harus mati, ya saya mati. Ngapain dipikirin? Yang kita pikirin masuk surga atau tidak itu."
"Tapi paling tidak bisa lebih hati-hati?"
"Ya pasti harus hati-hati, nggak sembarangan juga. Makanya kalau ada yang ngajak duel, ya nggak diladenin. Ngapain? Saya bukan tukang pukul. Kalau sama-sama gubernur, baru boleh hehehe."
"Oh hehehe. Trus Bapak kangen nggak sama kehidupan biasa, misal ke supermarket gitu?"
"Sudah saya matikan. Nggak ada lagi. Dahulu saya paling suka belanja di supermarket, jalan. Sekarang saya sudah nggak ada keinginan itu lagi. Kalau punya keinginan, harus segera dilupakan saja. Kita harus terima nasib kita harus kayak gitu. Karena suka kita melayani lebih besar daripada keinginan itu."
"Wahhh... Ada nggak sih yang kurang dari Bapak selama ini?
"Ya banyak lah."
"Apa kelemahan Bapak menurut Bapak sendiri?"
"Saya itu tidak bisa bersandiwara aja."
"Lho malah bagus kan, Pak? Bukan kah itu genuine? Sebuah kelebihan?"
"Tapi kan untuk di dalam politik itu kekurangan? Misal kamu mau layanin orang tapi orang ngeyel, marah dong. Marah mengurangi simpati orang. Tapi saya nggak peduli."
Iya, kadang kita harus palsu atau punya poker face agar orang lain suka dengan kita. Atau paling tidak, tidak menimbulkan drama. Tidak bisa bersandiwara atau genuine itu juga lemah karena orang lain jadi mudah menebak kita sedang marah atau biasa saja, bahagia atau sedih, jatuh cinta atau jijik, santun atau preman, dan lain-lain.
Tapi tetap bagi saya, genuinity adalah suatu kelebihan. Karena kita jadi tau saat dia melakukan sesuatu karena terpaksa atau memang tulus. Dan itu yang harus kita perhatikan dalam memilih seorang pemimpin. 
Di akhir wawancara, saya bertanya, "apa keinginan pribadi Bapak?"
"Saya pribadi hanya ingin ada keadilan sosial. Orang mendapatkan haknya. Secara pribadi saya tidak bisa membantu banyak orang. Makanya lewat menjadi pemerintah bisa membantu banyak. Seperti keadilan sosial, bantuan sosial. Orang sakit, ada BPJS, ya pergi berobat. Sekolah pun begitu. Itulah keadilan sosial."
Majikan yang Beruntung
Selesai makan dan wawancara, kami menuju ke ruang kerjanya untuk berfoto di kursi panasnya. Saya duduk dan Ahok berdiri di belakang saya. Ahok kemudian bergegas keluar untuk pulang ke rumahnya. Sebelum keluar ruangan, ia melambaikan tangannya ke saya.
Hari itu sebelum saya tidur, ada yang mengirimi saya pesan dan bertanya bagaimana rasanya seharian bersama Ahok dan duduk di kursi panasnya? Saya jawab, "rasanya luar biasa bangganya. Indonesia memiliki pelayan-pelayan yang setia dan selalu berusaha melayani majikannya dengan sebaik-baiknya. Kita adalah majikan-majikan yang beruntung. Majikan-majikan yang memang seharusnya dilayani dan selalu bisa mengkritik kinerja pelayannya tanpa rasa takut. I will never take it for granted."
PS: Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Ima, Mas Sakti, Mas Pri, dan seluruh staff yang telah membantu saya membuntuti Ahok hari itu.

No comments:

Post a Comment

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...